Disebutkan dalam sebuah kisah yang sahih bahwa Urwah bin Zubair bin Awwam, salah seorang ulama tabi’in senior, cucu dari Abu Bakr As-Siddiq, pernah melakukan perjalanan untuk menemui Khalifah Bani Umayah, Abdul Malik bin Marwan. Pada waktu itu, kaki Urwah sedang sakit, dan ada binatang kecil yang menggelayuti bagian luka di kakinya.
Ketika Urwah sampai di kediaman Abdul Malik bin Marwan, sang Khalilfah mendiskusikan masalah kaki Urwah yang sakit. Singkat cerita, Tabib kerajaan pun memeriksa penyakit yang dialami Urwah. Beliau mengusulkan, “Tidak ada jalan keluar selain kami harus memotong kaki Anda.” Urwah bertanya, “Bagaimana caranya?”
Sang Tabib menyarankan, “Anda minum khamar sampai mabuk. Setelah itu, kami potong (kaki Anda, ed.), sehingga Anda tidak mengalami rasa sakit.” Spontan, ulama bersahaja ini menjawab, “Aku tidak mau! Aku tidak ingin menghindari ujian Allah ini dengan bermaksiat kepada-Nya. Izinkan aku untuk shalat. Jika aku sedang berkonsentrasi dalam shalat, potonglah kakiku.” Setelah beliau benar-benar khusyuk dalam shalatnya, sang Tabib memotong kakinya.
Berselang seminggu setelah kakinya dipotong, anaknya jatuh dari atap dan meninggal. Beliau memiliki tujuh anak. Ketika informasi tentang anaknya ini sampai di telinga Urwah, beliau mengatakan, “Ya Allah, hanya milik-Mu segala puji. Engkau mengambil salah satu di antara anakku dan Engkau sisakan enam. Engkau mengambil salah satu di antara anggota badanku dan Engkau sisakan tiga yang lainnya ….” (Jannatur Ridha, karya Abu Ishaq Al-Huwaini, hlm. 3)
Bisa kita bayangkan seandainya posisi kita sebagaimana Urwah, ketika anestesi belum ditemukan seperti sekarang. Hanya ada dua pilihan: menahan rasa sakit amputasi manual yang luar biasa atau menerjang maksiat kepada Allah dengan minum khamar. Pada posisi ini, manusia mendapatkan ujian mental. Di sini, keberanian manusia diuji. Mereka bisa jadi melawan sesuatu yang bertolak belakang dengan keinginan jiwanya.
Kita yakin bahwa keadaan semacam ini nyaris tidak pernah luput dari perjalanan hidup manusia. Mulailah manusia terbelah menjadi dua golongan: kelompok pemenang yang tegar di atas kebenaran, meskipun nyaris merenggut nyawa dan golongan para pecundang, yang mudah menyerah dengan keadaan.
Seseorang, yang begitu tegar dalam menghadapi setiap masalah, tidak mengalami stres hanya gara-gara menghadapi ujian berupa kesempitan hidup. Hatinya tetap tegar dan wajahnya tetap menunjukkan sikap ridha terhadap semua takdir Allah.
Motivasinya jauh menembus batas dunia. Karena itu, sehebat apa pun ujian yang dialaminya, dia tidak gentar, tidak memelas kepada orang lain, dan tidak mudah menerima tawaran yang bertolak belakang dengan aturan syariat.
Sebaliknya, seorang pecundang akan lebih memilih solusi yang paling enak dan paling sesuai dengan seleranya. Halal-haram itu masalah belakangan, yang penting kenyang. Betapa banyak pengusaha yang rela untuk bergabung di kubangan riba, dengan alasan “kepepet cari modal”. Betapa banyak kaum muslimin yang bergabung di perusahaan yang “melanggar syariat”. Alasannya, yang penting dapat pekerjaan. Merekalah gambaran orang yang kalah sebelum berperang.
Barangkali ilustrasi di atas, terlalu berat untuk kita praktikkan. Namun, satu hal yang perlu kita yakini, bahwa diri kita bisa dilatih. Hanya saja, kita perlu keberanian tinggi untuk memulai. Mencoba mengambil keputusan yang tidak melanggar syariat, meskipun sangat menyakitkan diri kita.
Ini mungkin sangat sulit, namun tidak akan sesulit yang dibayangkan, bagi mereka yang mendapatkan rahmat dari Allah. Karena itu, bantulah jiwamu untuk mendidik diri sendiri dengan banyak berdoa kepada Dzat Yang Mahakuasa.
Allahu a’lam.
***
Penulis: Ust. Ammi Nur Baits
Artikel www.PengusahaMuslim.com